Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan Buddha yang pernah berdiri di nusantara.
Kerajaan Sriwijaya diperkirakan berdiri pada abad ke-7 oleh Dapunta Hyang Sri Jayasana.
Baca juga: Kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai Negara Maritim
Pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya diperkirakan berada di tepian Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan.
Beberapa bukti berdirinya kerajaan ini tidak hanya dari berita asing dan candi-candi, namun juga pada prasasti-prasasti yang menjadi sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya.
Baca juga: Penyebab Kemunduran Kerajaan Sriwijaya
1. Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat wilayah Palembang.
Prasasti Kedukan Bukit memiliki angka tahun 605 C (Saka) atau 683 Masehi.
Prasasti ini terdiri dari 10 baris yang ditulis dengan huruf pallawa dengan bahasa melayu kuno.
Isi Prasasti Kedukan Bukit menjelaskan bahwa ada seorang bernama dapunta hyang, yang dikatakan berangkat dari Minanga Tamwan naik perahu dengan membawa tentara. Ia datang di Matayap dan akhirnya membangun kota yang diberi nama Sriwijaya setelah berhasil Menaklukkan beberapa daerah.”
2. Prasasti Talang Tuo
Prasasti Talang Tuo ditemukan di di Desa Gadus daerah Talang Tuwo, sebelah barat Kota Palembang.
Prasasti Talang Tuo memiliki angka tahun 606 C atau 684 Masehi.
Prasasti ini ditulis dengan huruf pallawa dengan bahasa melayu kuno yang berisi tentang pembuatan taman Sri-ksetra oleh punta hyang Sri Jayanaga untuk kemakmuran semua makhluk.
Doa dan harapan yang terdapat di dalam prasasti ini menunjukkan sifat-sifat dari agama Buddha.
3. Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka dengan angka tahun 608 C atau 686 Masehi.
Prasasti ini ditulis dengan huruf pallawa dengan bahasa melayu kuno.
Isinya adalah permintaan kepada para dewa agar menjaga kedatuan Sriwijaya, menghukum setiap orang yang bermaksud jahat dan mendurhakai kekuasaan Sriwijaya serta menjamin keselamatan mereka yang taat dan setia.
4. Prasasti Telaga Batu
Prasasti Telaga Batu berbentuk batu lempeng dan tidak berangka tahun.
Isi Prasasti Telaga Batu adalah kutukan yang menakutkan bagi siapapun yang tidak taat terhadap perintah-perintah raja.
5. Prasasti Karang Brahi
Prasasti Karang Brahi ditemukan di daerah Jambi.
Prasasti Karang Brahi memiliki angka tahun 608 C atau 686 Masehi.
Prasasti ini ditulis dengan huruf pallawa dengan bahasa melayu kuno.
Isinya Prasasti Karang Brahi adalah permintaan kepada para dewa agar menjaga Sriwijaya, menghukum setiap orang yang bermaksud jahat dan mendurhakai kekuasaan sriwijaya serta menjamin keselamatan mereka yang taat dan setia.
6. Prasasti Palas Pasemah
Prasasti Palas Pasemah ditemukan di daerah Lampung Selatan.
Prasasti ini memiliki isi yang sama dengan Prasasti Karang Brahi dan Prasasti Kota Kapur.
Isinya terdiri dari 13 baris ancaman dan kutukan bagi pelanggar perintah raja.
Disebutkan pula bahwa daerah Lampung Selatan dikuasai Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke 7.
7. Prasasti Ligor
Prasasti Ligor ditemukan di Tanah Genting Kra di daerah Ligor.
Prasasti Ligor memiliki angka tahun 697 C atau 775 Masehi.
Prasasti ini memiliki tulisan di kedua sisinya dengan huruf pallawa dengan bahasa melayu kuno.
Isi dari Prasasti Ligor di bagian belakang yaitu:
“dikeluarkan oleh raja Sriwijaya, disebut seorang raja bernama Wisnu dari keluarga Sailendra. Raja ini dipuja dengan nama Raja Sanggramadhananjaya seperti yang dijumpai dalam Prasasti Kelurak.”
8. Prasasti Nalanda
Prasasti Nalanda ditemukan di Nalanda, India dan tidak memiliki angka tahun.
Prasasti Nalanda dikeluarkan oleh Raja Dewapaladewa dari Benggala dan ditulis dengan bahasa sansekerta.
Isi Prasasti Nalanda yaitu tentang permintaan Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa (Sriwijaya) kepada Raja Dewapaladewa untuk mendirikan vihara di Nalanda.
Dikatakan bahwa Raja Balaputradewa adalah cucu raja di Jawa yang menjadi “mustika keluarga Syailendra” bernama Sri Wirawairi mathana dan anak dari Samaragrawira, lahir dari Dewi Tara, putri Raja Darmasetu.
Samaragrawira dikenali sebagai Samaratungga yang memerintah kerajaan Mataram Kuno sekitar tahun 824 C atau 902 Masehi.
Selain itu, prasasti ini juga menyebut bahwa lima desa di Calcutta (sekarang Kolkata), India, dibebaskan dari pajak untuk keperluan misi agama Buddha Kerajaan Sriwijaya.
Walaupun prasasti ini tidak ditemukan di Indonesia, Prasasti Nalanda juga dijadikan sumber sejarah yang membuktikan keberadaan Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya yang berdiri sejak paruh kedua abad ke-7 dikenal sebagai kerajaan maritim.
Dengan pusat pemerintahan di Palembang, yang dekat dengan jalur pelayaran dan perdagangan dunia, kerajaan ini mampu menguasai perdagangan di Asia Tenggara.
Selain dikenal sebagai kerajaan maritim berpengaruh, Kerajaan Sriwijaya juga menjadi pusat penyebaran agama Buddha.
Berikut ini kehidupan keagamaan di Kerajaan Sriwijaya.
Baca juga: Kehidupan Perekonomian Kerajaan Sriwijaya
Pusat penyebaran agama Buddha di Asia Tenggara
Sejak abad ke-7, Kerajaan Sriwijaya telah dikenal sebagai pusat penyebaran agama Buddha di kawasan Asia Tenggara.
Hal itu diketahui berdasarkan catatan I-Tsing, yang menjadi catatan tertua tentang Sriwijaya.
I-Tsing adalah biksu dari China yang dikenal sebagai seorang penjelajah dan penerjemah teks agama Buddha.
Dalam pelayarannya dari China ke India untuk memperdalam ajaran Buddha, I-Tsing pernah singgah kemudian tinggal di Kerajaan Sriwijaya.
Perkembangan kehidupan beragama Kerajaan Sriwijaya menurut I-Tsing sangat baik.
Pada kunjungan pertamanya (671-672), I-Tsing menghabiskan enam bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sanskerta dan Melayu.
Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Nalanda di India, yang menjadi pusat pendidikan agama Buddha saat itu, dan tinggal selama 11 tahun untuk memperdalam ilmunya.
Baca juga: I-Tsing, Biksu China yang Memperdalam Agama Buddha di Sriwijaya
Pada 687, I-Tsing kembali singgah di Kerajaan Sriwijaya ketika akan kembali ke China.
Saat itu, Palembang telah menjadi pusat penyebaran agama Buddha dan I-Tsing tinggal selama dua tahun untuk menerjemahkan kitab suci Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Mandarin.
Pada 689, I-Tsing sempat kembali ke China untuk mendapatkan tinta dan kertas yang belum dimiliki Sriwijaya.
Masih di tahun yang sama, ia kembali ke Sriwijaya dan tinggal hingga 695 untuk menyelesaikan misinya dalam menerjemahkan kitab suci Buddha.
Dalam catatannya, I-Tsing kagum dengan perkembangan agama Buddha di Sriwijaya.
I-Tsing bahkan menyarankan para biksu dari negerinya yang hendak menuju Nalanda untuk belajar di Sriwijaya.
Ketika tinggal di Sriwijaya, ia bertemu dengan para biksu dari wilayah di Nusantara lainnya.
I-Tsing juga menulis bahwa raja-raja di Nusantara banyak yang memeluk agama Buddha.
Baca juga: Penyebab Kemunduran Kerajaan Sriwijaya
Peran kerajaan dalam penyebaran agama Buddha
Peranan pemerintahan Kerajaan Sriwijaya dalam pembinaan kehidupan umat beragama sangat tinggi. Raja-raja Sriwijaya juga selalu tampil sebagai pelindung agama Buddha.
Hal itu seperti tertulis pada Prasasti Nalanda, yang sebagian isinya menerangkan bahwa Raja Balaputradewa dari Sriwijaya meminta Raja Dewapaladeva untuk menyediakan tanah sebagai pembangunan asrama bagi pelajar agama Buddha dari Sriwijaya.
Isi prasasti ini menjadi bukti bahwa Raja Sriwijaya menaruh perhatian sangat besar terhadap pengajaran dan pendidikan agama Buddha, bahkan mendukung rakyatnya yang belajar hingga ke luar negeri.
Selain itu, Prasasti Nalanda juga menyebut bahwa lima desa di Kalkutta (sekarang Kolkata), India, dibebaskan dari pajak untuk keperluan misi agama Buddha Kerajaan Sriwijaya.
Adapun setelah kembali dari India, para pelajar tersebut akan meneruskan ilmunya dengan mendirikan pusat pendidikan dan pengajaran agama Buddha di Sriwijaya.
Baca juga: Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Pendiri Kerajaan Sriwijaya
Pendeta Buddha tersohor di Sriwijaya
Di Kerajaan Sriwijaya terdapat pendeta agama Buddha yang tersohor bernama Sakyakirti.
Sakyakirti adalah mahaguru Buddha di Sriwijaya yang telah menjelajah lima negeri di India untuk menambah ilmunya dan merupakan pengarang kitab Hastadandasastra.
Selain Sakyakirti, terdapat guru agama Buddha lain di Sriwijaya yang juga termasyhur namanya, yakni Dharmapala dan Dharmakirti.
Dharmakirti adalah salah seorang biksu tertinggi di Sriwijaya yang menyusun kritik atas kitab Abhisamayalamkara.
Bahkan, antara tahun 1011-1023, datang pendeta dari Tibet bernama Attisa ke Sriwijaya dengan tujuan belajar kepada Dharmakirti.
Berkat peran para mahaguru tersebut, Kerajaan Sriwijaya kerap dikunjungi oleh para biksu dari berbagai negeri.
Para biksu yang datang untuk mendalami ajaran Buddha mendapatkan tempat khusus dan sangat dihormati oleh penguasa Sriwijaya.